D. Zawawi Imron


D. Zawawi Imron atau Cak Imron lahir di tengah- tengah keluarga petani yang sederhana, pada tahun 1946 di Kabupaten Sumenep tepatnya di Desa Batang- batang di ujung timur Pulau Madura. Ia hanya sempat mengecap pendidikan formal Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1954 (sekarang SD) dan melanjutkan belajar di pesantren tradisional Lambicabbi, Kecamatan Gapura, sumenep selama 18 bulan. Sesudah itu ia mengajar di Madrasah Ibtidiyah di Desanya sambil terus otodidak.
Sesuai penuturannya, Zawawi Imron memang dekat dan bersahabat dengan kemiskinan. Ia lahir dan di besarkan di tengah- tengah keluarga miskin, sehingga ia tidak bisa melanjutkan ke kota. Makanan sehari- harinya nasi gaplek dengan ulam daun dadp. Zawawi pernah pula bekerja menjadi kuli pengangkut kantong daun siwalan dari gudang dan menaikkannya ke atas truck. “Pengalaman masa kanak- kanak menyakitkan jika dialami tapi ada yang nikmat bila di kenang sekarang” tutur Zawawi. “Semua kenangan tidak selalu nikmat, ada juga peristiwa masa lampau yang menyakitkan jika dikenang”. “Misalnya kenangan saat kecil ketika barusan pulang dari pesantren untuk menyaksikan perayaan- perayaan HUT –RI 17 Agustus 1960. Waktu itu ada perintah, setiap rumah yang terlihat dari jalan besar harus mengibarkan bendera merah putih dari kain. Ibu saya, jangankan beli bendera, bajunya sendiri sudah bertambal- tambal tidak diganti. Ibu membuat bendera sendiri, bagian warna merah dari baju bekas saya, sedangkan warna putihnya dari sarung bekas ibu yang sudah tak terpakai. Bendera itu dijahitnya dengan rajin sehingga tambalan- tambalan tak kentara”. Waktu itu saya terharu, kata Zawawi. Tapi lebih terharu lagi bila bendera itu saya kenang sekarang. Bendera merah putih buatan ibu itu kadang- kadang, berkibar dalam kenangan dengan hebatnya, tiba- tiba saya pun merasa naik ke puncak keharuan. Saya menjadi menderita “dengan rohani” yang membuat harus menyebut Tuhan, tambahnya pula (Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin,1984:4)
Biografi D. Zawawi Imron
D. Zawawi Imron
Sebagai orang Madura yang masih terikat adat, Cak Imron mengalami masa kawin muda. Menurutnya, ia sudah dijodohkan sejak ia kecil oleh orang tuanya. Tapi mereka tidak saling mengenal. Naik ke jebjang perkawinan baru berusia 21 tahun, sedangkan istrinya 13 tahun. “Istri saya tidak athu puisi, tidak bisa berbahasa Indonesia, sebab ia hanya SD sampai kelas III” katanya serius. “Tapi ia punya kelebihan. Ia tidak hanya pandai merawat anak, tetapi juga pandai merawat tulisan- tulisan saja. Tulisan- tulisan saya yang tercecer di bungkus rokok, bungkus kacang, dan kertas- kertas lain tidak pernah ada yang hilang!”. “Heran saya, ia tidak suka nonton TV.” Kini Cak Imron punya tiga anak. Satu meninggal jadi tinggal dua. Anak laki- lakinya yang sulung, Zaki, duduk di SMP dan mulai mulai belajar menulis puisi. (Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin, 1984:7)
Zawawi pertama kali menulis puisi pada usia 17 tahun, sementara teman- teman sepengajian lebih suka menulis syia yang bertema agama islam. Pertama kali Zawawi diberi kesempatan mengetik puisi- puisinya yaitu oleh Pak Sutama, Camat di tempatnya. Pak Sutama juga yang berjasa mengirimkan puisinya ke Mingguan Birawa(Surabaya) asuhan penyair Jawa Suripan Sadihutama, dan pertama kali disiarkan tahun 1974.( Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin,1984:4)
Diawal kepenyairannya Zawawi berhasil menerbitkan semerbang Mayang (kumpulan  puisi sajak 1977), disusul Madura Akulah Lautan (kumpulan sajak, 1978), Cempaka (Cerita lisan Madura, 1979), Ni Peri Tanjung Wulan (Cerita lisan Madura 1980), Bangsa Carrra RRRagapadmi (Cerita Lisan Madura, 1980), Bulan Tertusuk Lalang (Kumpulan sajak. PN Balai Pustak 1982), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerita Emas (1986), Berlayar di Pamor Badik (1994), Bantalku Ombak, Selimuntu Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang,  yang diterbitkan oleh Masyarakat Poetika Indonesia (MPI) (1996). Semerbak Mayang (1997), Madura Akulah Darahmu (1999), Unjuk Rasa Kepada Allah, Rosda Karya (1999), Gumam- Gumam Dari Dusun; Indonesia di Mata Seorang Santri, Pustaka Hidayah (2000), Sate Rohani Dari Madura, Rosda Karya (2001), Bandung, Soto Sufi dari Madura (2002), Ku Jilat Manis Empedu (2003). Itulah beberapa karya D. Zawawi Imron, tak terbayang berapa juta tulisan khususnya puisi yang telah ia ciptakan. Beberapa sajaknya telah d terjemahkan ke dalam Bahasa inggris, Belanda, dan Bulgaria (http://www.mediacare.biz)
Mengawali perjalanan karirnya pada tahun 1979 Zawawi memenangkan Sayembara Nasional menulis puisi yang diadakan Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia, dan mendapatkan hadiah dari Depdikbud RI di tahun 1981 dalam lomba mangarang buku bacaan SD.
Tahun 1982, Subagyo Sastrowardoyo memilihnya sebagai salah satu penyair terbaik dalam acara Temu  Penyair Muda Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Bahkan kini ia, penyair lulusan SR itu, dipercayai mangajar kesusustraan di sebuah SMP Madura, dan mengajar menggambar di sebuah SD. Setelah mengajar di SMP itulah, ia baru tahu adanya angkatan- angkatan dalam sejarah sastra Indonesia. “Tadinya saya tidak tahu apa itu angkatan Pujangga Baru, angkatan 45 dan sebagainya” katanya (Pusat Bahasa H.B Jassin, 1984:187)
Penghargaan lainnya Zawawi dapatkan ketika kumpulkan sajaknya Nenek Moyangku Air Mataku  terpilih sebagai puisi terbaik Yayasan Buku Utama Depdikbud RI, 1985. Pada tahun 1980 kumpulan sajaknya Celurit Emas mendapat hadiah buku puisi terbaik dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Tahun 1995 sajaknya yang berjudul “Dialog Bukit Kambuja” keluar sebagai juara pertama lomba nasional menulis puisi AN-Teve dalam rangka 50 tahun kemerdekaan RI. Dan akhirnya puisi “Bulan Tertusuk Lalang “ menarik sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak dengan judul Bulan Tertusuk Ilalang. (Soto Sufi dari Madura, 2002 : 103-104). Diantara sajak- sajaknya, ada sebuah sajaknya yang dianggap termahal oleh KHA Mustofa Bisri, yaitu Dialog Bukit Kemboja yang dihargai AN-Teve dengan tujuh setengah juta rupiah karena menang sebagai juara pertama (kategori penyair) dalm lomba menulis puisi memperingati 50 tahun Indonesia merdeka.
“ Untuk menulis puisi, ia harus barjalan dulu 500m atau keliling kampung, kadang jika hari hujan, ia harus mondar- mandir sendirian di kamar persis seperti ayam mau bertelur” tutur D.Zawawi Imron, penyair yang melahirkan Abdul Hadi WH. Selain itu untuk mendapatkan ‘bahwa puisi’, harus berjalan, dan lebih sering tanpa tujuan. Kegemarannya berjalan di malam hari, entah masih sore atau larut malam (Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin,1984:7).
Sampai sekarang Zawawi masih tetap bemukim di desa yang jauhnya dari kota Sumenep lebih dua puluh kilometer, diduga yang banyak ditumbuhi pohon nyiur, dan pohon siwalan. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana bersama seorang istri dengan dua orang anaknya, menurut Zawawi, ketika ia mendengarkan kidung- kidung yang mencari  kayu bakar di hutan belukar di sebalah timur pondok Ibuku, atau siul para penyadap nira siwalan, atau teriakan nelayan, atau irama gamelan pedesaan lalu ia ingin meniru sepertimereka, ingin bersiul seperti mereka dan lagi berteriak seperti mereka. Maka tidak mustahil jika sajak- sajak Zawawi punya warna Madura yang kuat (Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin).
Menurutnya pada pagi hari, a dapat melihat bagamana matahari terbit dari pucuk siwalan. Di hutan, masih banyak berkeliaran ayam hutan. Di sebelah selatan rumah, ada capung- capung merah, biru saling berkejaran dan sewaktu- waktu menyentuhkan kakinya ke dalam air (jamal drahman.wordpress.com).
Zawawi selain menulis puisi, ia juga menulis cerita rakyat, kolomnis di berbagai media cetak, mubalig, pelukis, dan kerap menghadiri seminar- seminar sastra, seperti yang terakhir ia hadiri dalam acara Jikfest di Jakarta pada tanggal 12 Desember 2008. aktifitasnya yang lain adalah pengajar di institut Dirosat Islamiyah AL-Amien (IDIA), Preduan Sumenep, dan di Universitas Madura. Semua itu ia hasilkan dari kerja kerasnya sendiri.