Latar Belakang Lahirnya Gerakan Feminism

Kata feminisme dikenalkan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourierpada tahun 1837. Kata feminisme dipergunakan bentuk bahasa Inggrisnya pada tahun 1890 untuk menunjukan perjuangan kaum perempuan dalam rangka meraih kesempatan yang sama.

Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan  perempuan.

Sugihastuti dan Saptiawan mengemukakan bahwa feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.

latar belakang lahirnya feminisme
Latar Belakang Lahirnya Feminisme

Latar Belakang Lahirnya Feminisme

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan lahir di era pencerahan eropa, dipelopori pemikiran Lady Mary Wortley Montagudan Marquis De Condorcet yang menginginkan pendidikan untuk perempuan. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middleberg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.

Menjelang abad 19 feminisme menjadi gerakan yang cukup mendapat perhatian dari para perempuan kulit putih Eropa. Mereka memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Pergerakan di pusat Eropa kemudian berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak buku John Stuart Mill “The Subjection of Woman” (1869) diterbitkan. Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme gelombang pertama.

Gerakan ini memang diperlukan pada saat itu, saat kebebasan perempuan dipasung. Perempuan dirugikan dalam segala bidang dan dinomorduakan oleh laki-laki dalam masyarakat yang patriarkal. Dalam pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik perempuan memiliki akses yang sangat kurang dibanding laki-laki. Apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki bebas di luar rumah dan kaum perempuan terkurung di dalam. Situasi ini baru mulai berubah dengan datangnya era liberalisme di Eropa dan meletusnya Revolusi Prancis di abad ke-18 yang gemanya menyebar ke seluruh dunia. Waktu itu, seperti sekarang fundamentalisme agama juga cenderung menindas kaum perempuan. Gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Bahkan kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus “tunduk kepada suami”.

Dengan latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk “menaikkan derajat kaum perempuan” tetapi gaungnya kurang keras. Baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai meningkat. Pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft memberikan “A Vindication of the Rights of Woman”, yang menjadi pondasi prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari.

Pada tahun 1830 sampai 1840, bersamaan dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak perempuan mulai diperhatikan secara khusus. Jam kerja dan gaji mereka mulai diperbaiki, mereka diberi kesempatan sekolah, dan diberi hak pilih; hal-hal yang selama ini hanya dinikmati oleh laki-laki.

Akan tetapi “A Vindiction of the Rights of Woman” tidak menaikkan tuntutan terhadap keadlian pada ranah politik, sehingga memberi kesan bahwa kaum perempuan dapat mengisi tugas-tugas mereka sebagai warga negara dari dalam batas kehidupan domestik.

Fakih menyatakan bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah satu masalah pendorong lahirnya feminisme. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Stimsonmengemukakan sebab lain yang mendorong lahirnya feminisme bahwa kritik sastra feminis berakar pada protes-protes perempuan melawan diskriminasi yang diderita dalam masalah pendidikan dan sastra.

Feminisme muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap masyarakat yang patriarki. Bhasin menjelaskan bahwa patriarki berarti kekuasaan bapak atau patriarch. Istilah ini secara umum digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki; hubungan kuasa dengan apa laki-laki meguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang menguasai perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya.

Patriarki menurut Bhasin merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, dalam mana perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tingi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dengan demikian terciptalah konstruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut.

Selanjutnya Bhasin menguraikan bidang-bidang kehidupan perempuan yang normalnya berada di bawah kontrol patriarki. Pertama, daya produktif atau tenaga kerja perempuan. Laki-laki mengontrol produktivitas perempuan di dalam dan di luar rumah tangga, dalam kerja bayaran. Di dalam rumah tangga, perempuan memberikan semua pelayanan untuk anak-anak dan suaminya. Di luar rumah, laki-laki mengontrol kerja perempuan melalui berbagai macam cara. Salah satunya dengan pemilihan jenis pekerjaan yang oleh laki-laki dianggap cocok dengan perempuan. Kedua, laki-laki juga mengontrol daya reproduktif perempuan. Dalam banyak masyarakat, perempuan tidak memiliki kebebasan dalam menentukan jumlah anak yang diinginkan, dan waktu untuk melahirkan anak. Hal tersebut berada di tangan laki-laki sebagai pengambil keputusan. Ketiga, kontrol laki-laki juga berlaku atas seksualitas perempuan. Perempuan diharuskan memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pihak laki-laki. Perempuan diharuskan membatasi ekspresi seksualitas di luar nikah, sedangkan laki-laki tidak. Keempat, gerak perempuan dikontrol untuk mengendalikan seksualitas, produksi, dan reproduksi mereka. Perempuan dilarang meninggalkan ruangan rumah tangga, pemisahan yang ketat antara privat dan publik, pembatasan interaksi antara kedua jenis kelamin, dan sebagainya. Kelima, laki-laki juga mengontrol harta milik dan sumber daya ekonomi lain dengan jalan sistem pewarisan dari laki-laki kepada laki-laki. Meskipun perempuan dalam hal ini memperoleh bagian, jumlahnya tidak sama atau lebih kecil dibandingkan dengan yang diperoleh laki-laki.

Fakih menyatakan feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki di atas. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminisme merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Salah satu alasan yang mendukung hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan.

Munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan artikel, novel, maupun media lain. Semua ini dilakukan dalam rangka mentransformasikan gagasan atau pandangan sebagai bentuk kritik feminis terhadap situasi dan pandangan sosial masyarakat. 


Daftar Pustaka

Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.

Sugihastuti, Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yayasan Jurnal Perempuan. 2007. “Kata dan Makna”. dalam Jurnal Perempuan Kami Punya Sejarah. (Maret, edisi 52). Jakarta.